1. I Wayan Wentra
Keahliannya dalam bidang seni Leko.
Mulai menekuni/belajar seni tersebut sejak tahun 1945.
Nama guru yang melatih adalah I Deres.
Masa jaya/tenarnya tahun 1947, I Wayan Wentra sudah pentas di Bali.
Anak didik/sekaa binaannya ada di Pendem.
Putra-putri yang melanjutkan karier sebagai seniman adalah I Nengah Parek.
Karya yang paling besar adalah seni tari yang bertemakan tani.
Pengalamannya sebagai seniman yaitu banyak mempunyai pengalaman baru dan teman baru.
Jenis Karya Seni : Seni Tari dan Tabuh
Alamat : Lingkungan Br. Pancardawa, Kelurahan Pendem.
2. Ida Pedanda Gede Ketut Pidada
Dilahirkan di Griya Pidada, Sidemen, Karangasem sekitar tahun 1677 dan merupakan putra kedua dari Ida Pedanda Wayan Kekeran. Dari kecil sudah menyukai bidang sastra karena lingkungan keluarga yang mendukungnya dan sejak usia 20 tahun sudah mulai menulis lontar. Di samping dibimbing oleh ayahnya, beliau juga berguru bahkan sampai ke Bangli, tepatnya di Griya Brahmana Bukit.
Pada tahun 1728, bersama kakaknya, Ida Pedanda Nyoman Pidada, mengarang buku ceritra "NI DIAH TANTRI" yang sangat terkenal sampai saat ini. Buku itu selalu digunakan di sekolah-sekolah mulai dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas sebagai salah satu mata pelajaran dalam bidang sastra daerah. Ide dan pemrakarsa dari ceritra "NI DIAH TANTRI" ini muncul dari Ida Pedanda Nyoman Pidada. Namun, karena sang kakak Ida Pedanda Nyoman Pidada melanjutkan tapa semadi di Pasraman, ceritra ini dilanjutkan oleh Ida Pedanda Gede Ketut Pidada dengan tetap didampingi oleh kakaknya.
Keahlian beliau dalam bidang sastra ternyata diwarisi oleh putra beliau, yaitu Ida Pedanda Ketut Pidada Putra. Autobiografi Ida Pedanda Gede Ketut Pidada ditulis di atas daun lontar dengan huruf Bali dan sebagian sempat dibacakan oleh Ida Bagus Ngurah Sudibia (58 tahun). Penerbitan autobiografi ini tidak terlepas dari jasa Ida Bagus Ngurah Sudibia dan Ida Bagus Mahardika (65 tahun) selaku informan.
Jenis Karya Seni : Seni Sastra
Alamat : Griya Pidada, Sidemen, Karangasem.
3. Ida Pedanda Gede Wayan Pesuruan
Ida Pedanda Gede Wayan Pesuruan adalah putra pasangan almarhum Ida Pedanda Gede Made Sidemen dengan almarhumah Jero Taman. Beliau mulai menekuni prihal tata cara pelaksanaan upacara dan mempelajari juga seluk-beluk berbagai jenis bebanten sejak usia 15 tahun (± tahun 1946).
Dibimbing langsung oleh Pedanda Istri Oka yang tak lain adalah tante beliau sendiri. Kemana pun Pedanda Istri Oka pergi, beliau selalu turut agar pengetahuannya tentang berbagai bentuk sesajen dan pelaksanaan upacara dapat dikuasai dengan baik. Selain itu, beliau juga sangat tekun mempelajari berbagai lontar yang berisi tentang tatwa, menyangkut upakara, khususnya tentang upacara pancayadnya. Beliau yang hanya tamat sekolah dasar pada tahun 1942 menyadari betul betapa pentingnya belajar lewat pengalaman langsung terjun ke lapangan.
Sejak mediksa, disucikan sebagai Pedanda (Sulinggih) hingga saat ini sudah tak terhitung lagi jasa beliau dalam muput karya, menyelesaikan rangkaian upacara, baik upacara yang berskala kecil, maupun upacara yang berkategori besar, seperti memuput karya Agung di Pura Besakih dan upacara di Pura Mandhara Giri Semeru Agung, Lumajang, Jawa Timur.
Di waktu senggang, Ida Pedanda Gede Wayan Pesuruan sering memberikan dharma wacana (penyuluhan) tentang yadnya kepada masyarakat, baik secara perorangan yang datang ke tempat beliau, maupun secara kelompok ke tempat-tempat tertentu atas permintaan masyarakat di wilayah Karangasem dan sekitarnya.
Jenis Karya Seni : Seniman Undagi
Alamat : Ds.Sibetan, Bebandem, Karangasem.
4. Ida Pedanda Istri Mas
Beliau termasuk seorang seniman undagi/tukang, terutama yang banyak bergerak dalam bidang tukang banten. Adapun seni membuat banten ini telah beliau tekuni sejak berumur 8 tahun yang diawali dengan belajar mejejahitan. Hari demi hari keterampilan yang dimiliki semakin berkembang dan meningkat yang pada saatnya beliau menjadi seorang undagi/ tukang banten.
Dengan menjalankan swadarma yang diemban, beliau telah menjalankan masa jaya sejak umur 40 tahun. Sebagai tanda puncak kejayaannya, ketika umur itu pula beliau dinobatkan sebagai Pendeta Budha.
Sebagai penyandang swadarma pendeta dan undagi/tukang banten, beliau telah banyak mengabdikan diri dalam rangka meningkatkan seni budaya Bali yang dijiwai oleh agama Hindu, baik secara horizontal di sekala yang menyasar kepada kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara, maupun secara vertikal ke niskala, yaitu bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dengan ruang lingkup daerah/wilayah pengabdian meliputi Bali, Lombok, dan Jawa. Jasa- jasa pengabdian beliau terkenang dalam karya-karya terbesar, seperti ngaturang ayah dalam rangka ikut mengkoordinasikan pelaksanaan upakara dan upacara, pada kegiatan berikut ini:
Karya Agung di Pura Besakih tahun 1963
Karya Agung Eka Dasa Ludra di Pura Besakih tahun 1979
Karya Agung Tri Bhuana, Candi Narmada,
Panca Wali Krama Ring Danu,
dan Bhatara Turun Kabeh tahun 1993.
Jenis Karya Seni : Seni Undagi
Alamat : Budakeling, Bebandem, Karangasem.
5. Ida Wayan Padang
Ketika umurnya mulai menginjak usia 10 tahun, Ida Wayan Padang yang masih termasuk bilangan bocah ingusan di desanya sudah mulai asyik menekuni tari-tarian tradisional Bali. Tari Gambuh, Topeng, Arja, Prembon, dan Calonarang sudah merupakan bagian dari hidupnya pada usianya yang 10 tahun itu. Waktu-waktu senggang yang ada padanya senantiasa dimanfaatkannya untuk belajar dan terus belajar mengenai seni tari di atas. Tidak heran, ketika usianya mulai menginjak 15 tahun, dia sudah merupakan penari yang digandrungi oleh para pencinta tari tradisional Bali di desanya ataupun desa-desa tetangganya dan Kabupaten Karangasem tempatnya lahir dan dibesarkan. Bahkan, setahun sesudah itu ia sudah bisa menurunkan kemampuannya sebagai seorang guru tari yang laris dan diburu-buru untuk mengajarkan tari. Begitu populernya, sampai-sampai ia harus melalang buana ke pulau seberang, yaitu ke Kecamatan Monjok di Lombok Barat.
Ida Wayan Padang, lahir tahun 1915 di Desa Budakeling, Kabupaten Karangasem dan kini menetap di Banjar Jeroan, Desa dan Kecamatan Abang, Daerah Tingkat II Karangasem. Sekalipun bangku sekolah tidak pernah dinikmati semasa hidupnya. Beliau bukanlah seorang buta aksara. Ia dapat membaca dan menulis sebagaimana lazimnya mereka yang pemah duduk di bangku sekolah. Lahir dari sepasang suami istri yang sudah lama almarhum, yaitu Ida Wayan Oka Tangi dan Ida Ayu Ketut Suter. Sebagai keluarga geriya (rumah tempat tinggal Brahmana), masalah-masalah keagamaan tidak pernah ditinggalkannya sebab setiap keluarga Brahmana mengharapkan anaknya kelak bisa menjadi Pendeta, yaitu pemimpin penyelenggara upacara keagamaan.
Darah seni rupanya memang telah membara di hatinya. Namun, sambil mengajarkan tari, tugas-tugas pengabdian masyarakat tidak pernah ditinggalkannya, terutama memimpin masyarakat dalam melaksanakan pembangunan. Pada tahun 1946 s.d. 1948 beliau menjadi perbekel (kepala desa) di Desa Pidpid. Kemudian tahun 1948 s.d. tahun 1950 menjadi kepala desa di Desa Abadi, Karangasem. Dapatlah dibayangkan betapa berat tugas yang harus dihadapi sebagai seorang kepala desa di masa gemuruhnya perjuangan revolusi fisik. Akan tetapi, tugas-tugas itu tidak pernah menghambat gejolak darah seni yang senantiasa membara di hatinya. Dari tahun ke tahun, waktunya dilewatinya dengan mengajarkan tari-tarian dari satu desa ke desa yang lain.
Jenis Karya Seni : Seni Tari dan Tabuh
Alamat : Banjar Jeroan, Desa dan Kecamatan Abang, Karangasem.
Mulai menekuni/belajar seni tersebut sejak tahun 1945.
Nama guru yang melatih adalah I Deres.
Masa jaya/tenarnya tahun 1947, I Wayan Wentra sudah pentas di Bali.
Anak didik/sekaa binaannya ada di Pendem.
Putra-putri yang melanjutkan karier sebagai seniman adalah I Nengah Parek.
Karya yang paling besar adalah seni tari yang bertemakan tani.
Pengalamannya sebagai seniman yaitu banyak mempunyai pengalaman baru dan teman baru.
Jenis Karya Seni : Seni Tari dan Tabuh
Alamat : Lingkungan Br. Pancardawa, Kelurahan Pendem.
2. Ida Pedanda Gede Ketut Pidada
Dilahirkan di Griya Pidada, Sidemen, Karangasem sekitar tahun 1677 dan merupakan putra kedua dari Ida Pedanda Wayan Kekeran. Dari kecil sudah menyukai bidang sastra karena lingkungan keluarga yang mendukungnya dan sejak usia 20 tahun sudah mulai menulis lontar. Di samping dibimbing oleh ayahnya, beliau juga berguru bahkan sampai ke Bangli, tepatnya di Griya Brahmana Bukit.
Pada tahun 1728, bersama kakaknya, Ida Pedanda Nyoman Pidada, mengarang buku ceritra "NI DIAH TANTRI" yang sangat terkenal sampai saat ini. Buku itu selalu digunakan di sekolah-sekolah mulai dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas sebagai salah satu mata pelajaran dalam bidang sastra daerah. Ide dan pemrakarsa dari ceritra "NI DIAH TANTRI" ini muncul dari Ida Pedanda Nyoman Pidada. Namun, karena sang kakak Ida Pedanda Nyoman Pidada melanjutkan tapa semadi di Pasraman, ceritra ini dilanjutkan oleh Ida Pedanda Gede Ketut Pidada dengan tetap didampingi oleh kakaknya.
Keahlian beliau dalam bidang sastra ternyata diwarisi oleh putra beliau, yaitu Ida Pedanda Ketut Pidada Putra. Autobiografi Ida Pedanda Gede Ketut Pidada ditulis di atas daun lontar dengan huruf Bali dan sebagian sempat dibacakan oleh Ida Bagus Ngurah Sudibia (58 tahun). Penerbitan autobiografi ini tidak terlepas dari jasa Ida Bagus Ngurah Sudibia dan Ida Bagus Mahardika (65 tahun) selaku informan.
Jenis Karya Seni : Seni Sastra
Alamat : Griya Pidada, Sidemen, Karangasem.
3. Ida Pedanda Gede Wayan Pesuruan
Ida Pedanda Gede Wayan Pesuruan adalah putra pasangan almarhum Ida Pedanda Gede Made Sidemen dengan almarhumah Jero Taman. Beliau mulai menekuni prihal tata cara pelaksanaan upacara dan mempelajari juga seluk-beluk berbagai jenis bebanten sejak usia 15 tahun (± tahun 1946).
Dibimbing langsung oleh Pedanda Istri Oka yang tak lain adalah tante beliau sendiri. Kemana pun Pedanda Istri Oka pergi, beliau selalu turut agar pengetahuannya tentang berbagai bentuk sesajen dan pelaksanaan upacara dapat dikuasai dengan baik. Selain itu, beliau juga sangat tekun mempelajari berbagai lontar yang berisi tentang tatwa, menyangkut upakara, khususnya tentang upacara pancayadnya. Beliau yang hanya tamat sekolah dasar pada tahun 1942 menyadari betul betapa pentingnya belajar lewat pengalaman langsung terjun ke lapangan.
Sejak mediksa, disucikan sebagai Pedanda (Sulinggih) hingga saat ini sudah tak terhitung lagi jasa beliau dalam muput karya, menyelesaikan rangkaian upacara, baik upacara yang berskala kecil, maupun upacara yang berkategori besar, seperti memuput karya Agung di Pura Besakih dan upacara di Pura Mandhara Giri Semeru Agung, Lumajang, Jawa Timur.
Di waktu senggang, Ida Pedanda Gede Wayan Pesuruan sering memberikan dharma wacana (penyuluhan) tentang yadnya kepada masyarakat, baik secara perorangan yang datang ke tempat beliau, maupun secara kelompok ke tempat-tempat tertentu atas permintaan masyarakat di wilayah Karangasem dan sekitarnya.
Jenis Karya Seni : Seniman Undagi
Alamat : Ds.Sibetan, Bebandem, Karangasem.
4. Ida Pedanda Istri Mas
Beliau termasuk seorang seniman undagi/tukang, terutama yang banyak bergerak dalam bidang tukang banten. Adapun seni membuat banten ini telah beliau tekuni sejak berumur 8 tahun yang diawali dengan belajar mejejahitan. Hari demi hari keterampilan yang dimiliki semakin berkembang dan meningkat yang pada saatnya beliau menjadi seorang undagi/ tukang banten.
Dengan menjalankan swadarma yang diemban, beliau telah menjalankan masa jaya sejak umur 40 tahun. Sebagai tanda puncak kejayaannya, ketika umur itu pula beliau dinobatkan sebagai Pendeta Budha.
Sebagai penyandang swadarma pendeta dan undagi/tukang banten, beliau telah banyak mengabdikan diri dalam rangka meningkatkan seni budaya Bali yang dijiwai oleh agama Hindu, baik secara horizontal di sekala yang menyasar kepada kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara, maupun secara vertikal ke niskala, yaitu bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dengan ruang lingkup daerah/wilayah pengabdian meliputi Bali, Lombok, dan Jawa. Jasa- jasa pengabdian beliau terkenang dalam karya-karya terbesar, seperti ngaturang ayah dalam rangka ikut mengkoordinasikan pelaksanaan upakara dan upacara, pada kegiatan berikut ini:
Karya Agung di Pura Besakih tahun 1963
Karya Agung Eka Dasa Ludra di Pura Besakih tahun 1979
Karya Agung Tri Bhuana, Candi Narmada,
Panca Wali Krama Ring Danu,
dan Bhatara Turun Kabeh tahun 1993.
Jenis Karya Seni : Seni Undagi
Alamat : Budakeling, Bebandem, Karangasem.
5. Ida Wayan Padang
Ketika umurnya mulai menginjak usia 10 tahun, Ida Wayan Padang yang masih termasuk bilangan bocah ingusan di desanya sudah mulai asyik menekuni tari-tarian tradisional Bali. Tari Gambuh, Topeng, Arja, Prembon, dan Calonarang sudah merupakan bagian dari hidupnya pada usianya yang 10 tahun itu. Waktu-waktu senggang yang ada padanya senantiasa dimanfaatkannya untuk belajar dan terus belajar mengenai seni tari di atas. Tidak heran, ketika usianya mulai menginjak 15 tahun, dia sudah merupakan penari yang digandrungi oleh para pencinta tari tradisional Bali di desanya ataupun desa-desa tetangganya dan Kabupaten Karangasem tempatnya lahir dan dibesarkan. Bahkan, setahun sesudah itu ia sudah bisa menurunkan kemampuannya sebagai seorang guru tari yang laris dan diburu-buru untuk mengajarkan tari. Begitu populernya, sampai-sampai ia harus melalang buana ke pulau seberang, yaitu ke Kecamatan Monjok di Lombok Barat.
Ida Wayan Padang, lahir tahun 1915 di Desa Budakeling, Kabupaten Karangasem dan kini menetap di Banjar Jeroan, Desa dan Kecamatan Abang, Daerah Tingkat II Karangasem. Sekalipun bangku sekolah tidak pernah dinikmati semasa hidupnya. Beliau bukanlah seorang buta aksara. Ia dapat membaca dan menulis sebagaimana lazimnya mereka yang pemah duduk di bangku sekolah. Lahir dari sepasang suami istri yang sudah lama almarhum, yaitu Ida Wayan Oka Tangi dan Ida Ayu Ketut Suter. Sebagai keluarga geriya (rumah tempat tinggal Brahmana), masalah-masalah keagamaan tidak pernah ditinggalkannya sebab setiap keluarga Brahmana mengharapkan anaknya kelak bisa menjadi Pendeta, yaitu pemimpin penyelenggara upacara keagamaan.
Darah seni rupanya memang telah membara di hatinya. Namun, sambil mengajarkan tari, tugas-tugas pengabdian masyarakat tidak pernah ditinggalkannya, terutama memimpin masyarakat dalam melaksanakan pembangunan. Pada tahun 1946 s.d. 1948 beliau menjadi perbekel (kepala desa) di Desa Pidpid. Kemudian tahun 1948 s.d. tahun 1950 menjadi kepala desa di Desa Abadi, Karangasem. Dapatlah dibayangkan betapa berat tugas yang harus dihadapi sebagai seorang kepala desa di masa gemuruhnya perjuangan revolusi fisik. Akan tetapi, tugas-tugas itu tidak pernah menghambat gejolak darah seni yang senantiasa membara di hatinya. Dari tahun ke tahun, waktunya dilewatinya dengan mengajarkan tari-tarian dari satu desa ke desa yang lain.
Jenis Karya Seni : Seni Tari dan Tabuh
Alamat : Banjar Jeroan, Desa dan Kecamatan Abang, Karangasem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar